Mengerti Asuransi (2): Pilah Pilih Risiko

Seri pertama tentang definisi risiko (https://ifexplorer.blogspot.com/2019/01/mengerti-asuransi-1-risiko-apakah-itu.html) kita akhiri dengan beberapa pertanyaan bagaimana kita harus bersikap terhadap risiko-risiko yang selalu menyertai kita.  Haruskah kita senantiasa berharap cemas mengkhawatirkan kemungkinan-kemungkinan buruk itu? Atau, kita lupakan saja semuanya, pasrahkan semuanya pada Yang Maha Kuasa, yang terjadi maka terjadilah?  Atau, adakah yang bisa kita lakukan untuk mengelola risiko?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, kita perlu memilah risiko-risiko yang mengintai kita sepanjang waktu kedalam beberapa kategori.  Cara yang paling mudah dan jamak dilakukan adalah dengan memilah risiko berdasarkan kekerapannya (frequency) dan keparahannya (severity).  Dua aspek ini menggiring kita membagi risiko menjadi empat kelompok, yaitu:
1. Jarang terjadi dan tidak parah (low frequency, low severity)
2. Sering terjadi tetapi tidak parah (high frequency, low severity)
3. Jarang terjadi tetapi parah (low frequency, high severity)
4. Sering terjadi dan parah (high frequency, high severity
 
Keempat kategori risiko ini dapat digambarkan dalam matriks risiko berikut:
 
Source: Optiongray.com
 
Dari empat golongan resiko diatas, sebenarnya tidaklah semuanya harus terlalu dikhawatirkan. Resiko golongan 1 (LFLS) sebaiknya diabaikan saja, tidak perlu kita membuang waktu memikirkannya lalu merencanakan dan mengambil langkah-langkah tertentu untuk menghadapi.  Kemungkinan jari kita tersayat pinggiran kertas adalah contohnya.  Ia jarang terjadi dan bila benar terjadi tidaklah berakibat parah yang mengancam jiwa.  Sapuan cairan anti biotik dan kain pembalut (band aid) kecil sudah cukup.  Jadi, pilihan pertama yang dapat dilakukan seseorang terhadap suatu resiko adalah mengabaikannya (to ignore).
 
Adapun untuk resiko kelompok 2 (HFLS), karena ia sering terjadi, seseorang mungkin harus melakukan sesuatu.  Masih dalam konteks seorang karyawan, ada orang yang mudah sekali kehilangan pena karena tertinggal diberbagai tempat seperti ruang rapat, ruangan bos, meja teman kerja, kantin, Pos Satpam, area parkir dan sebagainya.  Seakan-akan, kapan dan dimana saja ia mengeluarkan penanya, maka itu adalah saat terakhir ia menggunakannya.  Untuk keperluan berikutnya, ia harus mendapatkan pena baru.
 
Tingkat kekerapan yang tinggi (sering terjadi) membuat seseorang mampu memprediksi tingkat kerugian yang mungkin dideritanya dalam kurun waktu tertentu.  Karyawan ini mampu menduga dengan cukup akurat berapa banyak pena yang akan hilang dalam dalam satu bulan.  Katakanlah, rata-rata ia akan kelihangan 10 pena dalam sebulan dan satu pena harganya Rp 5,000.  Dengan demikian ia harus menyisihkan dana Rp 50,000 setiap bulannya untuk membeli pena.  Untuk orang pelupa dan ceroboh seperti karyawan ini, tidaklah perlu ia membeli pena mahal berbalut emas perak, bila tiga hari kemudian pena itu akan tertinggal di suatu tempat dan hilang tak tentu rimbanya.  Keputusan menyisihkan sejumlah dana untuk menghadapi resiko disebut menahan resiko (to retain).  Jumlah Rp 50,000 dalam kasus ini disebut tingkat retensi (level of retention).
 
Bila sang karyawan ini cukup beruntung, kebutuhan segala macam alat tulis sepenuhnya disediakan oleh perusahaan.  Setiap kali karyawan ceroboh ini kehilangan penanya, ia hanya perlu berjalan beberapa langkah menuju lemari alat tulis kantor dan mengambil pena baru.  Dalam situasi ini, dari perspektif karyawan, ia telah mentransfer atau memindahkan (to transfer) resiko kehilangan pena ke perusahaan. Dengan kata lain, perusahaan lah yang kini menahan kerugian sebesar Rp 50,000 per bulan.

Sekedar check-point, sejauh kini kita telah berkenalan dengan tiga pilihan aksi yang dapat ditempuh seseorang dalam menghadapi resiko, yaitu mengabaikan (to ignore), menahan (to retain) dan memindahkan (to transfer).

Comments

  1. 1. Accept the risk
    2. Avoid the risk
    3. Transfer the risk
    4. Mitigate the risk
    5. Exploit the risk

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts