Engineering Fee dan Facultative Excess of Loss
Akhirnya AAUI mengambil langkah kongkrit untuk membasmi hama engineering fee (EF) yang telah menggerogoti industri asuransi umum Indonesia beberapa tahun belakangan. Telah terbit SK AAUI no. 22 tahun 2018 yang berisi do's dan don'ts bagi perusahaan asuransi dan reasuransi anggota AAUI. Butir-butir SK ini dapat dilihat sebagai ikrar atau komitmen industri karena diputuskan bersama, bahkan melalui Rapat Umum Anggota.
Saya menduga ada reaksi beragam atas SK AAUI ini, bahkan mempertanyakan efektifitas SK ini dalam memberantas Engineering Fee yang demikian mewabah. Tidakkah SK AAUI ini offside? Bukankah OJK yang mestinya mengawasi pelaksanaan regulasi yang dikeluarkannya? Apakah OJK sedang bertai-chi? Akankah AAUI benar-benar mampu menindak tegas anggota yang nakal? Mengapa asosiasi pialang tidak mengambil langkah serupa AAUI, bukankah mereka juga pemeran utama?
Pertanyaan-pertanyaan diatas valid adanya dan terbuka untuk diperdebatkan. Namun satu hal, langkah kongkrit AAUI patut mendapat apresiasi. Bila implementasinya dilakukan dengan disiplin, bukan tidak mungkin ia membawa dampak signifikan dalam memerangi Engineering Fee.
Saat ini, saya tak hendak mendiskusikan point-point diatas. Ada satu butir dalam SK AAUI yang menurut saya menarik untuk dikaji, paling tidak dari sisi teknis. Ia adalah ketetapan kedua bagi perusahaan reasuransi dan asuransi umum yang menerima sesi reasuransi inward, butir nomor 2, yang berbunyi:
"Tidak menerima semua bisnis dengan metode fakultatif non proporsional (primary layer dan/atau excess layer) untuk sum insured dan liability anyone policy within single entity, with same period dibawah USD 1.000.000.000."
"Tidak menerima semua bisnis dengan metode fakultatif non proporsional (primary layer dan/atau excess layer) untuk sum insured dan liability anyone policy within single entity, with same period dibawah USD 1.000.000.000."
Lho, mengapa Fac XL jadi dilarang? Apa hubungannya dengan EF?
Mari kita urai perlahan-lahan.
Reasuransi fakultatif adalah mekanisme penyebaran resiko yang terlalu besar melebihi kapasitas otomatis treaty atau dikecualikan oleh treaty, dimana penempatannya dilakukan per resiko dan semua pihak memiliki kebebasan untuk mengambil keputusan. Perusahaan asuransi bebas mau menawarkan atau tidak, sementara perusahaan reasuransi bebas pula mau menerima atau menolak.
Telah dibahas dalam artikel lain di blog ini sebelumnya bahwa fakultatif (terutama proporsional) telah menjadi modus operandi utama dalam upaya meraup EF. Resiko-resiko yang sepatutnya ditelan oleh treaty, justru dikeluarkan dan disebar secara fakultatif agar memungkinkan dilakukan pemotongan EF. Lebih lanjut silakan klik http://ifexplorer.blogspot.com/2018/10/janganlah-berlebihan-membenci.html?m=1
Meski reasuransi fakultatif proporsional jauh lebih populer, fakultatif sebenarnya dapat pula ditempatkan secara non-proporsional, atau yang dikenal sebagai Facultative Excess of Loss (Fac XL). Keduanya memiliki dinamika yang sangat berbeda secara fundamental. Bagaimana neraca perusahaan (re)asuransi terpapar pada resiko juga sangat berlainan yang memaksa underwriter menganalisa dan menghitung premi dengan mindset dan mekanik yang berbeda pula.
Almost no brainer
Gambar dibawah ini dapat menjelaskan perbedaan-perbedaan itu.
Gambar 1. Facultative proportional vs Facultative Non-proportional |
Pertama, mari kita asumsikan bahwa harga dasar (underlying premium) telah mencukupi. Ini bukan persoalan untuk lini-lini bisnis yang diatur tarif, sebagamana lini asuransi harta benda di Indonesia.
Pada penempatan proporsional (warna kuning sebelah kiri), baik premi maupun klaim di bagi dengan proporsi yang sama. Sebidang resiko dibelah oleh garis-garis vertikal menjadi bidang-bidang lebih kecil yang berdampingan. Bidang-bidang yang berbaris bersisian itu merepresentasikan bagian resiko yang menjadi saham asuradur dan reasuradur yang terlibat dalam reasuransi fakultatif itu. Luasan tiap bidang kecil itu apabila dibagi dengan total luas bidang besar semula tentu dapat diekspresikan dalam persentase yang menyatakan saham setiap (re)asuradur. Dalam contoh ini, saham ketiga reasuradur masing-masing 19%, 40% dan 40%, sedangkan asuradur menahan 1% saja.
Pembagian premi bruto kepada setiap (re)asuradur sangat simple, almost no brainer. Total premi bruto dikalikan persentase saham merupakan bagian premi yang berhak diterima masing-masing. Dengan asumsi awal bahwa premi dasar (underlying premium) adalah mencukupi secara teknis, maka bagian premi bruto setiap (re)asuradur juga mencukupi. Satu-satunya yang dapat menyebabkan premi tidak mencukupi bagi (re)asuradur adalah biaya akuisisi yang berlebihan (excessive) seperti Engineering Fee itu. Oleh sebab itu, bila SK AAUI no. 22 tahun 2018 ini sukses diterapkan dan EF lenyap dari muka Bumi, maka selesai perkara.
Demikian pula perhitungan klaim, another no brainer task. Berapapun besarnya klaim, kecil, sedang hingga total loss, ianya dibagi secara proporsional mengikuti saham setiap (re)asuradur yang terlibat. Dengan kata lain, nilai kerugian keseluruhan dikali dengan peesentase saham adalah nilai klaim yang menjadi tanggung jawab masing-masing.
Pembagian setiap klaim, tanpa terkecuali, secara proporsional menunjukkan bahwa setiap bidang-bidang kecil itu terpapar pada resiko secara homogen. Dengan kata lain, peluang terkena klaim, baik frekuensi maupun severity, adalah identik untuk setiap bidang-bidang itu. Itu sebabnya semua (re)asuradur yang berpartisipasi berhak untuk menikmati suku premi (premium rate) yang identik pula.
Semua terlihat baik-baik saja, bukan? Clear and fair.
Namun tidak demikian halnya penempatan non-proporsional (warna biru disebelah kanan). Premi dan klaim tidak disebar dengan proporsi yang sama. Sebidang resiko besar kini dibelah oleh garis-garis horizontal yang menghasilkan bidang-bidang kecil yang bertumpuk dari bawah keatas. Satu diatas yang lain.
Bagaimana setiap bidang-bidang kecil itu terpapar terhadap klaim tidak lagi identik satu sama lain. Semakin rendah posisi suatu bidang dalam tumpukan itu, maka semakin tinggi intensitas terpaparnya terhadap suatu klaim. Bidang terbawah (retensi) misalnya, tentulah yang paling ter-exposed, karena ia akan terlibat disetiap klaim, berapapun ukurannya. Sebaliknya, bidang yang berada di paling atas dari tumpukan merupakan yang paling ringan intensitas terpaparnya. Ia hanya akan terkena klaim apabila nilai keseluruhan klaim itu telah melebihi plafon atau ceiling bidang yang tepat berada dibawahnya. Tingkat terpaparnya bidang-bidang lain terhadap klaim tentu berada diantara bidang terbawah dan teratas. Bidang-bidang bertumpuk itu tidak terpapar pada kerugian secara homogen.
Dengan kata lain, peluang satu bidang terkena klaim, baik frekuensi maupun severity, tidak lagi identik dengan bidang yang lain. Masing-masing bidang memiliki peluang terkena klaim yang berbeda-beda. Bidang yang posisinya lebih dibawah memiliki peluang terkena klaim yang lebih besar. Oleh karena itu, suku premi untuk setiap bidang itu mestilah berbeda-beda pula. Bidang yang berada dibawah tentulah lebih mahal dari pada yang diatas.
Compressed capacity
Apakah suku premi yang ditetapkan tarif, yang pada dasarnya cenderung overpriced, memadai bagi bidang-bidang (atau layer-layer) bawah itu?
Jawabnya, belum tentu. Besar kemungkinan, suku premi tarif tidak mencukupi karena bidang-bidang bawah itu merupakan layer-layer yang termampatkan atau compressed layers.
Fenomena compressed layer ini dapat dijelaskan dengan analogi sebuah ruang hampa yang kemudian diisi udara dengan tekanan normal 1 atm. Pada struktur reasuransi proporsional, ruang itu kemudian disekat-sekat menjadi ruang-ruang lebih kecil yang bersisian. Tekanan udara disemua ruang kecil itu tetap sama, semua 1 atm, karena setiap ruang kecil itu memiliki lantai dan plafon yang sama tingginya.
Sementara itu, pada struktur reasuransi non-proporsional, ruang besar tadi disekat-sekat menjadi ruang-ruang kecil yang disusun bertumpuk dari bawah ke atas. Setiap bidang memiliki ketinggian lantai dan plafon yang berbeda-beda. Sesuai dengan hukum fisika, ketinggian berbeda itu menyebabkan tekanan udara yang berbeda pula. Semakin rendah ruangan itu, semakin mampat dan besar tekanannya, semakin mudah meledak!
Dalam konteks reasuransi, lebih rentan meledak ini diterjemahkan sebagai lebih terekspos pada klaim sehingga lebih besar kemungkinan untuk merugi, sehingga preminya pun akan lebih tinggi.
Fac XL dan Engineering Fee
Mudah dipahami bagaimana fakultatif proporsional digunakan untuk mengambil engineering fee, dengan memangkas komisi lebih tinggi. Lalu, bagaimana caranya Engineering Fee diekstrak dari Fac XL?
Umumnya transaksi reasuransi excess of loss dilakukan on net basis, tanpa komisi reasuransi. Satu-satunya potongan adalah brokerage, bila ada broker reasuransi diantara asuradur dan reasuradur.
Pada kebanyakan kasus, memang secara keseluruhan premi excess of loss lebih kecil dari penempatan secara proporsional. Penghematan terutama dari layer-layer atas yang harganya bisa sangat murah secara signifikan. Meski hal ini tidak selalu benar, tergantung pada pemilihan level deductible serta loss experience. Bila deductible terlalu rendah dan/atau loss experience buruk, bisa jadi solusi excess of loss tidak menjadi lebih murah, bahkan bisa jadi lebih mahal, dibanding solusi proporsional.
Kaidah empiris inilah sepertinya yang dijadikan celah oleh tertanggung atau broker dengan menawarkan penutupan fakultatif non-proportional dengan harapan ada selisih cukup besar antara premi bruto yang diterima dari tertanggung dengan biaya reasuransi. Selisih inilah yang dimainkan serupa engineering fee pada penempatan proporsional. Ia digunakan untuk membiayai diskon atau kick back kepada pihak tertanggung atau oknum.
Nah, bila demikian adanya, tinggal kini pada kemampuan reasuradur untuk melakukan pricing dengan benar atas layer-layer fakultatif non-proporsional yang ditawarkan padanya, baik primary maupun excess layer. Kedisiplinan reasuradur atau asuradur yang menerima inward facultative untuk menolak Fac XL yang terlalu murah atau mengenakan premi yang berpatutan bila memutuskan untuk mengambil resiko itu, merupakan faktor kunci.
Sampai disini dapat disimpulkan bahwa Fac XL tidak secara langsung menyebabkan EF dan tidak harus dilarang asalkan reasuradur mampu berbuat disiplin dalam underwriting dan pricing.
Namun kenyataannya tidak sesederhana itu. Broker memahami situasi ini maka mereka melakukan manuver cerdas dengan mengkaitkan partisipasi di main program dengan Fac XL di primary layer.
Kemungkinan skenario yang terjadi dimarket adalah pialang atau intermediary telah kadung menjanjikan diskon atau kickback besar kepada tertanggung agar dapat mengamankan suatu resiko. Maka dengan anggaran tipis sebesar premi bruto digerus EF, diskon atau kickbak itu, broker mencoba mendapatkan quote dan menempatkan resiko tersebut. Demi menyesuaikan dengan anggaran premi yang tipis itu (karena dipotong EF) maka lead underwriter akan memperketat terms and conditions, terutama menaikkan deductible pada level yang relatif tinggi. Level dimana terlalu tinggi bagi tertanggung untuk menahannya. Lalu lahirlah ide untuk menurunkan deductible itu dengan membeli deductible buy-back cover secara non-proporsional. Broker menyadari bahwa menempatkan deductible buy-back layer tidaklah mudah. Kalaupun bisa, harganya akan sangat mahal, bisa jadi premi yang tersisa tidak mencukupi.
Untuk mengatasi dilema ini maka deductible buy-back dijual secara paket dengan program utama. Bila reasuradur ingin berpartisipasi dalam program utama, maka ia wajib ambil bagian dalam deductible buy-back meski harganya tidak mencukupi.
Abuse
Dengan motivasi yang benar dan rancangan cover yang tepat, sesungguhnya Facultative Excess of Loss merupakan solusi penyebaran resiko yang efektif dan menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat seperti tertanggung, asuradur dan reasuradur. Bahkan untuk resiko berukuran dibawah USD 1 miliar sekalipun, yang oleh SK AAUI nomor 22/2018 dilarang ditempatkan secara facultative non-proporsional. Fac XL itu sejatinya bukanlah masalah. Yang menjadi masalah adalah penyalahgunaan Fac XL dengan tujuan untuk mengekstrak tambahan potongan seperti Engineering Fee. Akhirnya, AAUI pun bersepakat untuk melarangnya dalam SK No 22 tahun 2018. Karena penyalahgunaan, sesuatu yang halal, terpaksa diharamkan.
Terima kasih pak Delil, Pemaparan yang gamblang dan 'no brainer'. Menambahkan kesimpulan diatas, pada akhirnya di butuhkan komitmen yang sangat kuat bagi pelaku industri, jika menginginkan membaiknya kondisi asuransi di Indonesia. Komitmen ataupun Pakta Integritas model apapun, niscaya tidak akan berhasil, jika law enforcement dari regulator tidak berjalan. Semoga periode EF ini benar-benar sudah berakhir.
ReplyDeleteSangat tajam dan trengginas. Thanks for the enlightment Pak Delil.
DeleteMaturnuwun, Pak Sabarkah & Pak Ran.
Delete@Bos Sabarkah, Setuju. Law enforcement regulator sangat krusial. Monggo OJK-nya dicolek alus Bos... :-)
Mohon ijin share di web aauisemarang.com ya Pak..akan kami cantumkan sumber dari blog Bapak ini...
ReplyDeleteSilahkan, Pak. Semoga bermanfaat.
Delete