Janganlah berlebihan membenci engineering fee
Engineering fee jelas merupakan fenomena pelik sekaligus memalukan bagi industri asuransi umum. Namun kita tetap harus berlaku adil padanya. Tidak sepatutnya kita berlebihan membenci dan mengutuk engineering fee, karena ia bukan satu-satunya persoalan. Ia hanyalah salah satu dari mata rantai persoalan yang kait mengait.
Dua puluh satu tahun lalu, saat saya terjerumus kedalam industri asuransi, tarif asuransi kebakaran baru saja dicabut. Regulator percaya bahwa market perlu didewasakan oleh karena itu tariff haruslah ditiadakan. Tariff pada dasarnya adalah intervensi atas mekanisme pasar. Umumnya tariff ditetapkan pada level diatas loss ratio experience. Dengan kata lain, tertanggung cenderung membayar premi lebih mahal dari semestinya. Meski dengan kelemahan mendasar itu regulator tetap memaksakan penerapan tariff karena market dianggap belum cukup dewasa dan memiliki kapabilitas teknis untuk beroperasi dan bersaing dalam market yang kompetitif tanpa batasan-batasan tariff.
Kompetisi dalam non-tariff environment ternyata semakin menggila. Dalam arti kata, perusahaan-perusahaan asuransi umum seakan melakukan bunuh diri massal dengan saling memangkas suku premi. Underwriter menjadi sungguh tak berguna, rekomendasi mereka dibuang keluar jendela. Semuanya adalah tentang harga.
Keadaan semakin parah dan tak menentu. Beberapa perusahaan asuransi umum gulung tikar atau paling tidak bagai kerakap tumbuh dibatu, hidup segan mati tak mau. Regulator akhirnya memutuskan untuk kembali ke tariff pada tahun 2014. Underwriter tetap tak berguna, karena tariff ditetapkan oleh buku. Siapapun bisa menjadi underwriter. Sebagaimana rejim tariff pada umumnya, tariff ditetapkan diatas loss ratio experience. Tarif menetapkan pula maksimum acquisition cost (25% untuk motor dan 15% untuk lainnya).
Sumber: madib.blog.unair.ac.id |
Dua puluh satu tahun lalu, saat saya terjerumus kedalam industri asuransi, tarif asuransi kebakaran baru saja dicabut. Regulator percaya bahwa market perlu didewasakan oleh karena itu tariff haruslah ditiadakan. Tariff pada dasarnya adalah intervensi atas mekanisme pasar. Umumnya tariff ditetapkan pada level diatas loss ratio experience. Dengan kata lain, tertanggung cenderung membayar premi lebih mahal dari semestinya. Meski dengan kelemahan mendasar itu regulator tetap memaksakan penerapan tariff karena market dianggap belum cukup dewasa dan memiliki kapabilitas teknis untuk beroperasi dan bersaing dalam market yang kompetitif tanpa batasan-batasan tariff.
Kompetisi dalam non-tariff environment ternyata semakin menggila. Dalam arti kata, perusahaan-perusahaan asuransi umum seakan melakukan bunuh diri massal dengan saling memangkas suku premi. Underwriter menjadi sungguh tak berguna, rekomendasi mereka dibuang keluar jendela. Semuanya adalah tentang harga.
Keadaan semakin parah dan tak menentu. Beberapa perusahaan asuransi umum gulung tikar atau paling tidak bagai kerakap tumbuh dibatu, hidup segan mati tak mau. Regulator akhirnya memutuskan untuk kembali ke tariff pada tahun 2014. Underwriter tetap tak berguna, karena tariff ditetapkan oleh buku. Siapapun bisa menjadi underwriter. Sebagaimana rejim tariff pada umumnya, tariff ditetapkan diatas loss ratio experience. Tarif menetapkan pula maksimum acquisition cost (25% untuk motor dan 15% untuk lainnya).
Saat penerapan tariff kedua ini lahirlah fenomena baru yang sangat menarik yang disebut engineering fee, yang tidak ada sebelumnya. Bagaimana ceritanya Tariff 2.0 melahirkan inovasi sebrilian engineering fee ini?
Mekanisme pasar yang bila bekerja normal akan menemukan titik keseimbangannya sendiri. Tariff merupakan intervensi yang mencoba untuk memaksakan keseimbangan yang lain. Setiap intervensi akan menghasilkan inefisiensi pasar.
Pada kasus pasar asuransi property Indonesia, misalnya, tingkat loss ratio selama penerapan Tariff adalah diantara 35% hingga 40%. Tariff menetapkan biaya akuisisi maksimum sebesar 15%. Katakanlah tingkat biaya internal perusahaan asuransi adalah 10%, maka total biaya adalah 65%, menyisakan 35% sebagai potensi profit perusahaan asuransi.
Potensi profit besar inilah yang berkontribusi melahirkan inovasi engineering fee. Pasar akan melihat bahwa profit perusahaan asuransi terlalu besar dan mencari jalan untuk menguranginya alias mendapat bagian darinya. Peluang ini pulalah yang memicu tumbuhnya broker-broker asuransi dan reasuransi bagaikan jamur dimusim hujan.
Cara paling mudah memangkas potensi profit perusahaan asuransi adalah dengan menaikkan biaya akuisisi, namun itu tak lagi dimungkinkan dengan pembatasan biaya akuisisi maksimal pada 15%.
Maka, eureka! Entah siapa Archimedes itu, seseorang menemukan ide baru untuk melakukannya dengan menggunakan (lebih tepatnya menyalahgunakan) item engineering fee. Penemuan itu menjadi viral dalam waktu singkat dan mewabah di seantero industri.
Engineering fee, sebagaimana penyalahgunaan lainnya, adalah praktek yang tidak dapat dibenarkan, bahkan tidak etis. Karena pertanyaan berikutnya adalah kemana perginya engineering fee yang mencapai 15% atau lebih dari premi bruto? Kita tahu ia tidak sungguh-sungguh digunakan untuk engineering atau survey atau kajian resiko. Apakah ia diberikan sebagai diskon kepada tertanggung? Apakah diskon dibolehkan dibawah rejim tariff karena artinnya tertanggung membayar premi dibawah tariff? Apabila diskon dihalalkan oleh rejim tariff saat ini, benarkah ia masuk ke tertanggung, bukan ke 'oknum' tertanggung? Bukankah tidak mungkin ia mengalir pula ke oknum pialang atau asuransi atau reasuransi?
Singkat kata, inefisiensi tariff yang melahirkan engineering fee berpotensi menelurkan inefisiensi-efisiensi turunan lainnya.
Pada akhirnya pihak yang paling dirugikan dari fenomena ini sesungguhnya adalah tertanggung yang membayar premi terlalu tinggi. Sebagian kecil saja dari premi yang dibayarkannya dipakai untuk mengelola resiko. Sebagian besarnya justru dinikmati oleh berbagai pihak yang tidak memberi nilai tambah.
Inefisiensi Reasuransi Treaty
Salah satu inefisiensi yang muncul atau semakin besar dengan adanya engineering fee terdapat pada mekanisme penyebaran resiko melalui reasuransi.
Saat perusahaan asuransi merasa perlu mengurangi retensinya, salah satu mekanisme yang efektif adalah dengan mentransfer sebagian resiko itu kepada perusahaan-perusahaan reasuransi melalui metode fakultatif. Resiko ditawarkan kepada dan diterima oleh reasuradur secara per resiko. Kedua belah pihak memiliki kebebasan penuh untuk menawarkan dan menerima atau menolak. Reasuradur mendapatkan akses penuh pada semua informasi terkait resiko tersebut.
Reasuransi fakultatif efektif menyebar resiko, namun ia tidak efisien saat volume bisnis meningkat. Prosesnya memakan banyak sumber daya baik manusia, waktu, dan akhirnya uang. Maka lahirlah metode reasuransi treaty yang bekerja secara portofolio, tidak lagi per resiko. Tidak lagi ada kebebasan penuh untuk menawarkan, menerima atau menolak setiap resiko. Sepanjang resiko itu masuk dalam kerangka, syarat dan ketentuan yang disepakati dimuka oleh asuradur dan para reasuradur, maka ia wajib ditransfer melalui treaty dan reasuradur wajib menerima. Administrasi, akuntansi dan pembayaran juga dilakukan secara kumpulan, kecuali untuk kasus-kasus spesial dan klaim-klaim besar. Maka treaty adalah metode penyebaran resiko yang efektif sekaligus efisien.
Akan tetapi efektifitas dan efisiensi itu secara serius telah dirusak oleh engineering fee. Kenapa bisa begitu?
Besarnya potensi keuntungan asuransi akibat penerapan tariff telah melahirkan inovasi engineering fee, yang kemudian mengundang lahirnya banyak broker asuransi dan reasuransi. Mereka datang seperti semut mengerubungi gula, tumbuh bagai cendawan dimusim hujan karena tampaknya tidaklah sulit memperoleh lisensi pialang dari regulator.
Para broker itu menggiring resiko-resiko untuk menjauh dari kapasitas treaty dan memindahkannya ke kapasitas koasuransi dan reasuransi fakultatif. Kok gitu? Karena begitu resiko ditelan oleh kapasitas treaty yang bekerja otomatis, ia lenyap dari pasar dan darinya tidak bisa lagi dipotong komisi atau engineering fee atau apapun namanya.
Jadi, suatu resiko yang sebenarnya bisa ditempatkan secara efektif dan efisien dengan mensesikan sepenuhnya kedalam treaty, dipaksa keluar dan disebar secara fakultatif. Perusahaan asuransi 'dipaksa' menahan resiko itu kecil saja. Akibat lebih lanjut, perusahaan asuransi ini tidak dapat mencapai target pendapatan premi untuk treatynya. Treaty menjadi unbalanced dan volatile, satu kerugian besar menyapu habis premi. Reasuradur tidak happy, lalu memperketat syarat dan ketentuan treaty pada negosiasi berikutnya, menurunkan kapasitas dan komisi. Efektifitas dan efisiensi penyebaran resiko menurun. Industri bergerak mundur kebelakang.
Jadi, suatu resiko yang sebenarnya bisa ditempatkan secara efektif dan efisien dengan mensesikan sepenuhnya kedalam treaty, dipaksa keluar dan disebar secara fakultatif. Perusahaan asuransi 'dipaksa' menahan resiko itu kecil saja. Akibat lebih lanjut, perusahaan asuransi ini tidak dapat mencapai target pendapatan premi untuk treatynya. Treaty menjadi unbalanced dan volatile, satu kerugian besar menyapu habis premi. Reasuradur tidak happy, lalu memperketat syarat dan ketentuan treaty pada negosiasi berikutnya, menurunkan kapasitas dan komisi. Efektifitas dan efisiensi penyebaran resiko menurun. Industri bergerak mundur kebelakang.
Intervensi tidak ideal
Jadi, intervensi pasar seperti rejim tarif di industri asuransi tidak ideal. Penerapannya seharusnya untuk waktu terbatas sembari mempersiapkan industri agar semakin dewasa dan memiliki kapabilitas teknik dan finansial yang tangguh.
Tapi, kenapa saat Indonesia mencoba menghilangkan tarif justru membawa dampak yang lebih buruk bagi industri asuransi? Sederhana saja, karena upaya memperkuat dan mendewasakan industri melalui regulasi yang komprehensif belum tuntas, tapi tariff keburu dihilangkan
Selama tariff masih ditetapkan, sepatutnya regulator bersikap sangat tegas agar sejalan dengan asumsi bahwa industri belum dewasa. Setiap ada keragu-raguan atau loop hole atas segala ketentuan, harus ditutup segera oleh regulator. Setiap yang abu-abu, mesti dihitamkan atau diputihkan.
Saat tariff diterapkan, tidak patut regulator menyerahkan interpretasi tentang sesuatu, seperti engineering fee, sepenuhnya pada pasar. Karena sikap itu tidak sejalan dengan asumsi dasar penerapan tariff bahwa industri belum dewasa. Akibatnya sudah pasti chaos, seperti yang saat ini terjadi.
Kesimpulannya, engineering fee adalah masalah pelik. Namun ia bukan satu-satunya masalah. Ia hanya satu mata rantai dari masalah-masalah lain diantaranya penerapan tariff yang kurang tegas, ketiadaan regulasi yang efektif dan komprehensif, kurangnya penegakan aturan yang tegas dan jelas, pengawasan yang kurang ketat dan konsisten, lemahnya kapabilitas teknis dan aktuaria industri serta lemahnya supervisi pialang. Bila kita mau menghilangkan engineering fee, keseluruhan mata rantai persoalan itu harus diselesaikan.
Kesimpulannya, engineering fee adalah masalah pelik. Namun ia bukan satu-satunya masalah. Ia hanya satu mata rantai dari masalah-masalah lain diantaranya penerapan tariff yang kurang tegas, ketiadaan regulasi yang efektif dan komprehensif, kurangnya penegakan aturan yang tegas dan jelas, pengawasan yang kurang ketat dan konsisten, lemahnya kapabilitas teknis dan aktuaria industri serta lemahnya supervisi pialang. Bila kita mau menghilangkan engineering fee, keseluruhan mata rantai persoalan itu harus diselesaikan.
Persoalan Engineering Fee (jika kita memang mau menyatakan itu sebagai persoalan), sebenarnya tidak begitu pelik/rumit, hal itu bergantung dari ada atau tidaknya 'good will' dari regulator, apakah mau merubah kondisi yang ada saat ini, terkait dengan engineering fee. Kenapa demikian, karena memang typical industri asuransi di Indonesia memang dan kudu harus di paksa untuk merubah hal tersebut. Sulitnya dan lebih konyol lagi seluruh komponen industri mendukung hal tersebut menjadi tumbuh lebih subur lagi, sehingga beberapa perusahaan asuransi yang pada awalnya masih memiliki sedikit 'idealisme' utk tidak ikut-ikutan dalam praktik tsb, menjadi tumbang juga, kembali kepada teori 'survival of the fittest'. Masih sedikit beruntung, bagi perusahaan asuransi yang memiliki captive business, nah...bagaimana nasib perusahaan yang bergantung pada bisnis non captive? Sampai berapa lama mereka akan bertahan dengan margin yang semakin tipis? Marilah kita coba bertanya pada rumput yang bergoyang......
ReplyDeleteCakep....
DeleteMantaps...mengupas tuntas tulisan Bapak, butuh ketegasan dr Regulator saja seperti awal dengan Gagah nya mengeluarkan PMK 74 pengaturan tarif sekitar 11 tahun lalu...kini kegagah-an nya hilang entah kenapa, Regulator milenial kini jadi dirundung galau dalam sikap....
ReplyDeleteMulti persepsi dan definisi beragam menjadi hak mutlak bagi siapa saja yang mencari pembenaran atas EF ini... komitmen dr para pelaku industri ini juga diperlukan, bisa jadi peran asosiasi yang selalu di sorong berbagai pihak untuk membenahi, ter tinggal menjadi harapan, perlu ditunggu bagaimana kisah selanjut nya mulai 1 Jan 2019 esok....