Gempa dan asuransi parametrik
Gempa lagi. Beruntun lagi. Belum kering rasanya air mata dari gempa Lombok yang datang bertalu-talu. Kali ini menghantam Donggala, Mamuju dan Palu. Bahkan lebih dahsyat, hingga 7.4 SR. Sepanjang pantai yang permai, kini porak poranda. Digoncang gempa, dilamun tsunami.
Recovery dan rehabilitasi di Lombok belum tuntas tentu, bahkan baru dimulai. Telah terdengar beberapa keluhan menyalahkan pemerintah karena janji-janji Presiden saat berkunjung belum juga terealisasi.
Memang ada dua sisi sangat penting setiap pasca bencana, yaitu dana dan kecepatan penanganan. Keduanya sesungguhnya saling terkait karena untuk mampu melakukan penanganan cepat, diperlukan pengerahan sumber daya seperti pangan, sandang, shelter, obat-obatan, tenaga medis, relawan dan seterusnya. Mobilisasi sumberdaya ini memerlukan dana besar, selain dana yang diperlukan untuk membangun kembali wilayah terdampak. Semakin dahsyat terjangan bencana, upaya itu semakin sulit dan mahal karena infastruktur turut hancur atau rusak berat. Seperti yang kini terjadi di Palu dan sekitarnya.
Jembatan Ponulele, Palu (sumber: koranpagionline.com) |
Dapat dipastikan pemerintah Indonesia terpaksa merogoh kantong cukup dalam untuk membiayai recovery, rehabilitasi, pembangunan ulang dari bencana-bencana besar yang terjadi tahun ini. APBN akan tertekan serius. Anggaran untuk bencana kemungkinan besar tidak mencukupi. Negara mungkin harus menambah hutang karenanya.
Asuransi parametrik
Sebenarnya ada cara lain untuk menanggulangi resiko tekanan keuangan pasca bencana besar yaitu melalui mekanisme asuransi. Pemerintah banyak negara, terutama yang rawan terkena bencana alam, telah menggunakan asuransi sebagai salah satu komponen penting dalam penanganan resiko. Dengan demikian, dana pembangunan kembali, terutama aset pemerintah dan infrastruktur, dapat ditutup oleh ganti rugi asuransi. Namun sayang, pemerintah Indonesia belum melakukannya dengan optimal untuk menghadapi bencana besar.
Sesungguhnya, asuransi yang berlandaskan pada prinsip indemnity, memiliki kelemahan dalam hal kejadian bencana besar dan meluas. Prinsip indemnity ini mensyaratkan ganti rugi asuransi haruslah sejumlah kerugian atau biaya pembangunan ulang sesungguhnya. Artinya, sebelum ganti rugi asuransi dicairkan, besarnya kerugian aktual dilapangan haruslah dihitung dengan cermat oleh loss adjuster. Sesuatu yang tentu tidak mudah dilakukan pasca bencana. Akibatnya, uang ganti rugi asuransi datang sangat terlambat dan masyarakat serta pemerintah tidak serta merta dapat melakukan perbaikan atau pembangunan kembali. Kalaupun itu harus dilakukan dengan cepat, mereka tentu harus mencari sumber pendanaan lain.
Dalam situasi inilah asuransi berbasis parametrik memainkan peranannya. Asuransi parametrik bermakna bahwa ganti rugi tidak dilandaskan pada besarnya kerugian aktual dilapangan, melainkan didasarkan pada parameter tertentu yang dikeluarkan oleh lembaga independen dan kredibel. Untuk gempa bumi misalnya, intensitas dalam skala Richter dapat digunakan. Bila gempa yang terjadi di wilayah yang diasuransikan menembus level skala richter tertentu, maka asuransi membayar klaim sejumlah yang telah ditentukan dimuka. Semakin tinggi intensitas gempa, maka semakin besar pula ganti ruginya. Produk asuransi parametrik ini dapat dirancang untuk penutupan asuransi bencana besar dengan limit besar yang dibeli pemerintah. Namun, ia dapat pula dirancang untuk produk-produk yang dapat dibeli oleh perorangan maupun perusahaan.
Dengan asuransi parametrik, tidak lagi perlukan survey lapangan dan penghitungan nilai kerugian aktual dilapangan. Maka pembayaran klaim dapat dilakukan secepatnya, begitu intensitas bencana diketahui dengan past, dan langsung dapat dipakai untuk recovery, rehabilitasi maupun pembangunan kembali.
Namun, tentu ada yang berargumen bahwa ganti rugi yang diberikan dapat berbeda signifikan dari kerugian aktual. Tertanggung yang asetnya hancur menerima jumlah tidak mencukupi, yang rusak ringan mendapat ganti rugi berlebihan. Kalau demikian asuransi parametrik seperti berspekulasi. Argumen ini valid adanya. Perbedaan inilah yang dinamakan Basis risk dan merupakan kelemahan asuransi parametrik dibandingkan indemnity. Kabar baiknya adalah basis risk ini dapat diminimalisir dengan rancangan penutupan yang baik, misalnya intensitas gempa tidak ditetapkan terlalu rendah. Semakin tinggi intensitas gempa, misalnya, maka perbedaan antara indemnity basis dengan parametrik semakin sempit.
Setuju sekali dengan tulisan Pak Delil, namun demikian selalu dalam hal asuransi parametrik (basis risk), ini ketersediaan produknya masih sangat terbatas dengan syarat dan kondisinyapun masih belum memberikan minat kepada calon nasabah, spt, mengenai penetapan level SR/MMI yg kalo boleh dikatakan 'belum memihak' kepada calon nasabah, belum lagi 'santunan' atau 'benefit' nya juga jika boleh disebutkan 'seadanya'. Mudah2an Indonesia Raya di berikan keselamatan dan perlindungan dari berbagai macam bencana. Amiinn yaa robbal aalamiinn.
ReplyDeleteMari kita bicara, Tuan....
Delete