Galau Asuransi Umum Syariah (1): Spin off atau Menyerah?

Di sela-sela Indonesia Rendezvous akhir Oktober 2018 lalu di Nusa Dua, Bali, saya berbincang santai dengan seorang eksekutif asuransi umum terkemuka yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS).  Ia rupanya sedang galau, tentang nasib UUS-nya, apakah akan dilanjutkan dengan spin-off atau menyerahkan lisensi kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan berhenti menyediakan proteksi asuransi umum syariah.

Galau yang masuk akal, mengingat performa asuransi umum syariah yang tak kunjung cemerlang, malah menurun dalam dua tahun terakhir.  Kontribusi bruto asuransi umum syariah sepanjang 2017 hanya IDR 1.87 triliun, terjun 12% dari tahun 2016 sebesar IDR 2.13 triliun.  Pada periode yang sama klaim bruto meroket 17% dari IDR 757 miliar ke IDR 888 miliar.  Beberapa praktisi yang saya jumpai menjangka performa tahun 2018 pun akan sedikit dibawah 2017.


Gasing
(source: https://byjulj.wordpress.com/2014/10/15/the-forgotten-traditional-gasing/)
Bila UUS di spin-off, akankah ia sanggup menanggung beban biaya yang lebih tinggi sebagai konsekuensi beroperasi sebagai perusahaan penuh.  Sementara waktu semakin sempit untuk mengambil keputusan untuk spin-off atau tidak.  Deadline bagi semua perusahaan adalah 17 Oktober 2024, tepat sepuluh tahun sejak diundangkannya UU No. 40 tahun 2014 yang mewajibkan spin off.

Ah, masih longgar waktu tersisa.  Eiit...tunggu dulu, 17 Oktober 2024 itu adalah batas waktu selesainya semua proses spin off.  Sedangkan batas waktu menentukan sikap adalah 17 Oktober 2020, dimana perusahaan wajib menyampaikan Rencana Kerja terkait Pemisahan Unit Usaha Syariah yang telah disetujui oleh RUPS (POJK 69/2016 Pasal 17).  Bagi yang memutuskan melempar handuk putih alias menyerah, 17 Oktober 2023 adalah batas waktu pengalihan portfolio dan/atau pengembalian ijin.  Sungguh tidak banyak waktu tersisa, topik ini harus segera dibahas ditingkat Dewan Direksi dan Pemegang Saham. *)

Palu Gada

Kami berdua mendiskusikan mengapa performa asuransi umum syariah Indonesia tidak menggembirakan dan menemukan hal-hal berikut.

Pasar asuransi umum syariah Indonesia stagnant karena operator asuransi syariah yang sebagian besar berbentuk UUS tidak proaktif melakukan penetrasi pasar, terutama segmen asuransi komersil.

Sebagian besar UUS diadakan sekedar menjawab tanya publik apakah sebuah perusahaan asuransi memiliki produk yang sesuai syariah.  Ini barangkali yang dikenal sebagai strategi Palu Gada (Apapun yang lu mau, gua ada).   Pertanyaan ini biasanya datang dari umat Islam yang peduli pada kehalalan transaksi muamalah pribadinya.  Akibatnya, fokus operator asuransi Syariah lebih banyak pada produk-produk lini personal (personal lines) seperti asuransi kendaraan bermotor, rumah tinggal dan kecelakaan diri. 

Selain itu, operator asuransi umum syariah terlalu mengandalkan bank-bank syariah dan pembiayaan syariah sebagai kanal distribusi utama.  Begitu tingkat pembiayaan atau kredit syariah menurun, dampaknya serta-merta, ia langsung mengakibatkan penurunan produksi asuransi umum syariah.

Setidaknya ada empat perusahaan asuransi umum syariah yang telah berstatus fully fledged, namun kelihatannya mereka tidak begitu agresif mengembangkan pasar.  Barangkali masih kerepotan menata rumah baru.

Salah satu diantara mereka membawa harapan menjadi lokomotif penetrasi asuransi syariah ke segmen pasar komersial, mengingat ia dilahirkan dari asuransi BUMN yang merupakan salah satu pemimpin segmentasi itu.  Namun, mungkin harapan yang dipikulkan dipundaknya terlalu berat, kini sekitar 49% portfolionya adalah asuransi kendaraan bermotor, 40% lainnya justru asuransi kredit (financial guarantee).  Lini asuransi lainnya hanya 11% saja, tentu segmen komersial lebih kecil lagi.

Sementara satu perusahaan patut diragukan komitmen syariahnya, mengkonversi diri sekedar mengambil keuntungan dari lebih rendahnya persyaratan permodalan.

Beda kasta

Ada filosofi menarik di dunia korporasi Indonesia, yang buat saya sudah terbelakang, tak patut dipertahankan.  Pahaman itu mengatakan bahwa status anak perusahaan berada setingkat dibawah induknya dalam segala aspek.  Direksi dianak perusahaan selevel dengan kepala divisi di perusahaan induk, kepala divisi setara kepala departemen, demikian seterusnya.  Perbedaan bahkan pada standar gaji, anak perusahaan selalu dibawah.

Saat sebuah UUS disapih dari induknya, semua karyawan berstatus penugasan dari induk perusahaan.  Setelah rentang waktu tertentu, tiga tahun misalnya, mereka diminta memilih, tetap di anak perusahaan atau kembali ke induk.  Tetap tinggal di anak perusahaan berarti secara sukarela mengundurkan diri dari perusahaan induk dengan segala fasilitasnya.

Masalahnya, apabila saat memilih itu tiba ternyata anak perusahaan asuransi syariah dalam keadaan yang tidak menggembirakan, para karyawan merasa tidak aman untuk tetap tinggal.  Maka sebagian besar dari mereka memutuskan untuk kembali dan perusahaan asuransi syariah kehilangan banyak talenta terbaiknya.

Sedikit banyak, fenomena ini berkontribusi pada ketertinggalan industri asuransi umum syariah, bahwa industri tidak memiliki talenta-talenta yang mumpuni.

Shared services

Tidak dipungkiri bahwa sesaat setelah di spin off, perusahaan asuransi syariah segera menanggung beban biaya yang lebih besar dari pada saat masih berstatus UUS.  Kini ada Dewan Direksi dan Dewan Komisaris yang terpisah serta perangkat-perangkat korporasi lainnya.  Untuk mampu menutupi biaya-biaya tersebut, perusahaan asuransi semestinya memiliki volume bisnis minimum.  Namun tetap saja di tahun-tahun awal mereka akan beroperasi dengan efisiensi yang rendah.
Apabila sejak hari pertama disapih perusahaan asuransi syariah memaksa berdikari, mengadakan semua fungsi dan perangkat sendiri, memang akan sangat berat.  Namun, hal ini bukan tidak bisa diakali.  Dengan dukungan perusahaan induk, anak perusahaan syariah seharusnya dapat beroperasi dengan efisien dan berbiaya rendah melalui shared services untuk fungsi-fungsi tertentu seperti akuntansi, keuangan, manjemen resiko, kepatuhan, audit, sumberdaya manusia dan sebagainya.
Bahkan, untuk fungsi inti seperti underwriting, klaim atau pengembangan produk, dapat pula dikelola secara shared services.  Atau paling tidak anak perusahaan tetap memiliki akses pada kepakaran yang berada di induk perusahaan.  Misalnya, saat anak perusahaan syariah melakukan penutupan resiko besar dan komplek, maka garis referral diaktifkan dan keputusan underwriting diambil oleh senior underwriter dikantor pusat yang memang telah berpengalaman dan memiliki otoritas memadai.
Kekurangan tenaga ahli atau pakar bukan semata persoalan asuransi syariah, ia menjadi persoalan akut asuransi konvensional juga.  Tentu saja sebagian besar kepakaran itu berada di induk perusahaan yang telah wujud terlebih dahulu.  Oleh sebab itu, kepakaran yang terbatas ini seharusnya dimanfaatkan secara optimal dengan membuatnya bisa diakses oleh semua entitas didalam suatu grup.  Dengan begitu kualitas underwriting atau penanganan klaim dapat dijaga seragam di seluruh grup. 
Praktek shared services ini sudah merupakan model operasi yang diterapkan meluas, bahkan oleh perusahaan-perusahaan global.  Pada tataran global, bentuknya bisa lebih ekstrim dimana perusahaan-perusahaan membuka pusat-pusat shared services di kawasan berbiaya operasi lebih murah.  Perusahaan-perusahaan asuransi dan reasuransi global, misalnya, memiliki pusat-pusat back-office di India, terutama Bengalore.  Mereka melayani administrasi dari semua entitas dalam suatu grup perusahaan yang tersebar diseluruh belahan dunia.

Maka kasta hendaklah dimusnahkan

Agar praktek shared services dapat berjalan optimal dan mendapat dukungan seluruh karyawan, maka ia perlu ditandemkan dengan penghapusan kasta antara induk dan anak perusahaan yang disinggung diatas.  Seluruh staf statusnya sama sebagai karyawan dari grup.  Tidak ada karyawan anak perusahaan yang status dan fasilitasnya lebih inferior dibandingkan induk perusahaan.
Status sama ini akan menggairahkan kerjasama dan kolaborasi didalam grup, melintasi sekat-sekat legalitas entitas dan fungsional.  Komunikasi akan berjalan mulus karena semua orang merasa setara, tidak ada hambatan komunikasi dari perasaan minder (inferior) versus superior.
Seorang karyawan bisa saja diminta memfokuskan diri di anak perusahaan, bila keahliannya memang diperlukan.  Sewaktu-waktu, saat kepakarannya diperlukan oleh anak perusahaan lain dalam satu grup, maka ia tinggal dimutasikan.  Atau, ia bisa ditarik ke perusahaan induk dan memiliki otoritas yang menjangkau anak-anak perusahaan dibawah, sebagaimana contoh senior underwriter diatas.  
Adakah kendala regulasi atas penerapan shared services dan pemusnahan kasta ini? Bila ada, mari kita bicara! 
Catatan:
*) Paragraf ini ditambahkan berdasarkan informasi dari Bapak Erwin Noekman, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) 

Comments

Popular Posts