Pasar Tani: Pertanian adalah Perniagaan

Ini kejadian awal September lalu saat lini masa media sosial masih hangat menggunjingkan IPB, pasca pidato presiden Jokowi saat dies natalis IPB ke-54.  Sudah lama sekali rasanya tema pertanian tidak lagi mengisi ruang bincang kita.  Sepanjang yang saya dapat ingat, hal itu terakhir terjadi lebih dari seperempat abad yang lalu, saat kelompencapir adalah organisasi paling ternama melalui berbagai program TVRI bertema pertanian.  Diantaranya 'Dari desa ke desa', bersama penyiar legendaris dengan suara khas, Sambas.  Setiap pagi pula RRI menyiarkan perkembangan harga-harga komoditas pertanian dari berbagai sentra produksi. Ada Brastagi, Alahan Panjang, Lembang, Brebes, Temanggung dan sebagainya.

Ahad pagi itu kami sekeluarga di kedai Mamak (India Muslim) dekat rumah, sarapan pagi dengan santapan khas Malaysia, roti canai, teh tarik dan kopi tarik.  Lalu beranjak ke Pasar Tani tidak jauh dari situ.

Pasar Tani adalah pasar 'kaget' yang menjual berbagai hasil pertanian dan hadir dihari-hari tertentu saja.  Di area tempat kami tinggal, Pasar Tani hadir setiap Ahad pagi hingga pukul sebelas dan mengambil tempat di lapangan parkir Wangsa Walk Mall. 

Pasar ini menjual berbagai produk pertanian seperti sayur mayur, buah-buahan, cabe, jahe, lengkuas, kunyit, bawang merah dan putih, ayam, telur, aneka rupa ikan hingga susu segar.  Tidak ketinggalan produk eksotis seperti petai dan jengkol.  Pokoknya segala ada, one stop solution bagi para ibu, tak perlu lagi singgah ke tempat lain.

Sayur, buah, susu, ikan, daging dan produk pertanian lainnya yang dijual disitu semua segar-segar.  Tentu saja, karena yang berjualan adalah para petani yang membawa hasil ladang sendiri.  Atau paling tidak, pengecer yang mengambil produk langsung dari petani, tiada melalui berbagai jenjang pedagang pemborong dan tengkulak.

Anda mungkin punya persepsi cenderung negatif tentang pasar 'kaget'.  Yang terlintas adalah gerombolan pedagang yang mendadak menggelar lapak disuatu tempat kosong dalam rangka memanfaatkan keramaian dari even tertentu seperti pesta pernikahan atau khitanan, konser dangdut, turnamen sepakbola antar kampung hingga komedi putar.  Entah dari mana datangnya para pedagang itu, mereka tak diundang, tidak pula terorganisir.  Begitu pasar 'kaget' bubar, yang tersisa adalah sebidang tanah yang seolah baru saja diluluhlantakkan oleh puting beliung.  Sampah-sampah berserakan, bau tak sedap menyengat dan lalat mulai berdatangan.  Bagi warga sekitar, pasar 'kaget' adalah nikmat sesaat yang membawa sengsara.

Namun Pasar Tani tidak begitu.  Ia dikelola dengan profesional oleh FAMA (Federal Agricultural Marketing Authority), lembaga pemerintah dibawah Kementerian Pertanian dan Industri Asas Tani Malaysia.  Tampak sekali para pedagang yang terdaftar itu wajib mengikuti prosedur operasi standar dalam menjajakan, menangani hingga mengemas dagangan mereka.  Demikian pula dalam hal kebersihan, setiap pedagang bertanggung jawab atas lapak masing-masing.  Begitu pasar bubar, tidak ada tanda yang tertinggal, tidak juga aroma yang tak biasa.  Tak lama kemudian truk-truk ukuran sedang dan mobil-mobil pick-up pengangkut dagangan para petani meninggalkan tempat itu dan kendaraan para pengunjung mall berdatangan. Tanah lapang itu kembali ke fungsi utamanya sebagai lapangan parkir.  Begitu terus setiap Ahad pagi.

Tenda-tenda pedagang itu seragam warna dan bentuknya.  Dirancang sedemikian rupa sehingga begitu mudah dibongkar pasang, diangkut dan disimpan.  Ini memungkinkan para petani pedagang itu berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan cepat dan ringkas.  Dari sisi estetika, keseragaman lapak dan tenda membuat pasar ini enak dipandang.  Ditambah dengan kebersihan yang memberi kenyamanan pengunjung, anda akan merasa berbelanja dipasar modern.  Jauh sekali dari kesan pasar tradisional yang kumuh, sesak, becek dan berbau tajam rupa-rupa menusuk hidung.

Menurut istri saya, harga-harga di Pasar Tani sedikit lebih mahal dibandingkan pasar basah tradisional.  Bahkan, harga hypermarket kadang dapat lebih murah saat promo-promo tertentu.  Namun harga itu sangat pantas untuk kualitas dan kesegaran produk pertanian yang dijual plus kenyamanan yang ditawarkan.  Orang Malaysia bilang ianya 'berbaloi' (worth it).
Inisiatif pasar tani ini mendekatkan petani ke konsumen akhir, yaitu rumah tangga dikawasan itu.  Ada beberapa lapis rantai pemasaran yang dipangkas, para perantara yang menikmati keuntungan paling besar disepanjang rantai suplai yang menekan petani dengan harga beli murah dan mencekik konsumen dengan harga tinggi.  Meski akhirnya konsumen Pasar Tani membayar harga yang sama, atau bahkan sedikit lebih tinggi, tapi semua margin itu kini untuk petani.

Tata niaga pertanian yang carut-marut dikuasai mafia yang berselingkuh dengan penguasa merupakan salah satu permasalahan utama sektor pertanian di Indonesia.  Mereka seperti tangan-tangan tak terlihat yang memainkan harga hasil pertanian, bibit serta pupuk.  Pasar Tani ini tidak akan mampu menyelesaikan keseluruhan persoalan tata niaga pertanian, tapi paling tidak ia menjadi inisiatif penyeimbang mekanisme pasar yang saat ini timpang dikuasai segelintir orang saja.  Ia berpotensi membesar dan menjadi bentuk kanal distribusi yang signifikan, apalagi bila diinisiasi, difasilitasi dan diregulasi secara serius oleh pemerintah, seperti kasus di Malaysia ini.

Rantai suplai produk pertanian itu seperti ular, pipih di kepala, kecil di ujung tapi gemuk ditengah.  Yang menikmati keuntungan paling besar adalah para perantara ditengah, bukan konsumen, bukan pula petani produsen.  Inisiatif-inisiatif yang memperpendek rantai suplai serta menghilangkan kesenjangan informasi pasar sehingga tidak ada pihak yang dapat memanipulasi harga, sungguh sangat diperlukan.  Dari situlah akan tercipta sistem ekonomi pertanian yang berkeadilan.

Pasar Tani di Malaysia adalah salah satu contoh saja.  Ada banyak ide dan inovasi yang dapat membawa efek perbaikan yang sama.  Apa lagi kecanggihan teknologi informasi telah membuka cakrawala kemungkinan baru, yang dimasa lalu terbayangkan pun tidak.  Akan sangat produktif bila pemerintah memfokuskan diri pada upaya-upaya seperti ini.  Maka tak perlulah Menteri Pertanian Indonesia mengisi halaman muka berita dengan wacana-wacana janggal, seperti jutaan petani atau pekerja sektor pertanian yang (berpotensi) bergabung ISIS, sekedar untuk menutupi performa kerja yang berantakan.  Atau tiba-tiba bersama pucuk pimpinan kepolisian menyerbu gudang pedagang besar beras lalu menuduh adanya penipuan yang merugikan negara ratusan triliun rupiah.  Bombastis diawalnya, mentah kemudian, lalu tak terdengar lagi.  Entah apa niatnya.


Apabila pemerintah tak bergerak, atau bergerak lamban sekali seperti biasanya, inisiatif-inisiatif brilian seperti ini sesungguhnya dapat dicetuskan oleh pihak swasta, individu atau komunitas.  Dan rasanya itu sudah dan sedang terjadi.  Bukankah orang Indonesia sudah terbiasa liat, kreatif dan independen tanpa bergantung pada pemerintah yang lebih sering tak dapat diharapkan?

Comments

Popular Posts