Kisah Nyata: Orang Kosong
Source: www.tempo.co |
Berjumpa kembali setelah sekian lama tak saling menatap tentu membahagiakan. Namun bangunan besar bertembok tinggi itu bukanlah tempat terbaik untuk bertemu melepas rindu. Ia adalah penjara wanita Kajang, Malaysia. Yang paling mencemaskan, bagi Condro berada disitu sama halnya dengan mendekat ke moncong buaya. Pasalnya Condro adalah 'orang kosong', sebutan bagi pekerja asing di Malaysia yang tidak memiliki dokumen imigrasi yang sah.
Dua setengah bulan lalu, tiga orang polisi menjemput Nuri dikontrakan kecil mereka. Rupanya telah terjadi perampokan disalah satu rumah, dimana Nuri bekerja paruh waktu sebagai pembantu rumah tangga. Sejumlah uang dan perhiasan lenyap dibawa pergi.
Nuri diinterogasi hingga jauh malam. Ia tidak terbukti melakukan kejahatan itu, tidak juga sekedar berkomplot dengan pelaku. Pada saat yang sama dikantor polisi yang sama di ruangan berbeda sesungguhnya ada interogasi lain terhadap dua laki-laki warga negara Malaysia. Ternyata merekalah yang patut disangka sebagai pelakunya dan langsung ditahan. Nuri terbebas dari tuduhan perampokan, namun tetap tidak boleh pulang. Ternyata Nuri adalah 'orang kosong'. Ia ditahan dengan sangkaan sebagai pendatang haram.
Tiga minggu lalu aku juga menemani Condro ke penjara itu, tapi ia hanya menunggu diluar penjara, aku sendiri yang menemui Nuri. Kami berdua sama-sama belum pernah menjenguk pengunjung penjara Malaysia sebelumnya. Takutnya ada beberapa lapis penjaga yang harus dilewati dan kami harus menunjukkan bukti identitas yang sah. Condro punya paspor, tapi tidak ada visa. Alih-alih bertemu buah hati, bisa jadi Condro malah ikut ditahan karenanya.
Setiap pengunjung mestilah mendaftarkan diri disebuah bangunan terpisah diluar gerbang penjara. Didalamnya ada lima loket pendaftaran. Pengunjung harus mampu menunjukkan tanda pengenal yang sah dan menyatakan tujuan berkunjung. Berbekal secarik kertas dari loket pendaftaran, aku diarahkan memasuki gerbang komplek penjara, lalu berbelok kekanan menuju penjara wanita. Ternyata tidak ada pemeriksaan sama sekali ketika melewati gerbang, semua orang bebas lalu lalang baik berjalan kaki maupun berkendaraan.
Setelah memarkir mobil, aku memasuki ruangan yang ternyata adalah loket pendaftaran lagi. Lagi-lagi tidak ada pemeriksaan. Secarik kertas dari loket pendaftaran pertama dan paspor diserahkan kepada petugas dan mereka menyerahkan sebuah pensil dan dua lembar kertas panjang yang diantaranya ada kertas karbon berwarna hitam. Ternyata itu adalah borang barang-barang kebutuhan yang dapat dibeli oleh pengunjung untuk tahanan yang dikunjungi. Item-item yang dibeli disepakati dengan tahanan selama waktu berkunjung. Borang itu diserahkan kembali kepada petugas diloket untuk diperiksa dan dijumlahkan harganya. Kadang-kadang petugas mencoret item tertentu atau mengurangi kuantitasnya. Setelah membayar belanjaan, paspor atau tanda pengenal pengunjung dikembalikan dan pengunjung sudah dapat meninggalkan penjara.
Sambil menyerahkan borang kosong itu, petugas mengarahkanku untuk memasuki sebuah pintu yang ia tunjuk, namun sebelumnya semua barang-barang yang aku bawa seperti telepon genggam, dompet, jam tangan dan lain-lain, haruslah disimpan disalah satu loker disebelah pintu itu. Dibalik pintu adalah koridor sempit sepanjang kurang lebih lima meter, berikutnya aku sudah berada di ruangan pertemuan tahanan dan pengunjung. Ruangan itu berupa koridor panjang, mungkin sekitar empat puluh meter panjangnya, yang dibelah dua oleh tembok dan kaca tebal yang dilapisi oleh jeruji besi. Pengunjung dan tahanan dapat saling melihat melalui kaca itu, namun tidak dapat saling menyentuh karena kaca itu tertutup rapat. Saking rapatnya, suara pun tak tembus. Komunikasi antara pengunjung dan tahanan dilakukan melalui interkom yang telah disediakan. Lagi-lagi tidak ada pemeriksaan oleh petugas. Aku mengamati pula bahwa beberapa tahanan menerima kunjungan dari beberapa orang, meski pengunjung yang terdaftar satu orang saja. Berbekal pengalaman itu aku yakin Condro mestinya dapat berkunjung pula, cukup aku saja yang mendaftar.
Dan kini Condro telah duduk disebuah kursi dikoridor panjang itu, matanya menatap lurus kemuka, sedia menangkap bila Nuri tiba-tiba muncul dibalik kaca. Pastilah baginya waktu merambat begitu lambatnya.
Nuri tiba dengan dengan senyumnya, ia melambaikan tangan pada ku yang duduk sekitar tiga meter dibelakang Condro. Sekilat senyumnya melebar dan raut mukanya semakin berbinar begitu tahu siapa yang duduk menunggu didepan kaca berjeruji. Keduanya sigap mengangkat gagang interkom masing-masing. Keduanya segera larut tenggelam dalam perbincangan. Sesekali punggung tangan mereka mengusap mata. Terlalu banyak yang hendak diungkapkan, namun tiba-tiba waktu berputar sangat cepatnya.
Dua puluh menit berlalu, seorang penjaga wanita mendekati Nuri, sepertinya mengingatkan bahwa waktu sudah hampir habis. Nuri mengangguk lalu melanjutkan perbincangannya dengan Condro. Hampir sepuluh menit sejak peringatan petugas itu barulah percakapan mereka benar-benar berakhir. Kami meninggalkan koridor panjang itu diikuti pandangan mata Nuri.
Dalam perjalanan meninggalkan penjara, Condro meringkas perbincangannya dengan Nuri. Nuri masih menanti panggilan Mahkamah (pengadilan) untuk mengikuti persidangan, mungkin dalam satu dua minggu kedepan. Sepatutnya Nuri sudah disidang, namun ternyata ada penundaan gara-gara banyak hakim yang mengambil cuti. Hari-hari itu sekolah-sekolah Malaysia liburan panjang pergantian tahun ajaran. Persidangan untuk kasus orang kosong biasanya lebih sebagai formalitas saja asalkan terdakwa mengakui kesalahan tinggal dan bekerja di Malaysia secara ilegal tanpa dokumen yang sah. Hukumannya juga standar, biasanya enam bulan penjara terhitung sejak hari pertama ditahan lalu dideportasi. Selanjutnya mereka dipindahkan ke kamp penampungan menanti giliran dipulangkan ke tanah air.
Ada cerita menarik dari Nuri tentang kehidupannya dipenjara, yang juga diceritakannya padaku tiga minggu yang lalu. Ia mengatakan bahwa kami tidak perlu mengkhawatirkan keselamatannya, karena dipenjara wanita Kajang saja ada enam ribu lebih orang Indonesia dengan berbagai kasus dari orang kosong hingga pembunuhan berencana. Dan didalam sana mereka seperti saudara saling membantu dan menjaga sesama orang Indonesia. Kalaupun ada pertikaian, pastilah dengan warga negara lain seperti Myanmar, Philipina, Bangladesh, India atau China daratan. Lagi pula, dengan jumlah sebanyak itu, tahanan Indonesia merupakan mayoritas, tidak banyak yang berani cari perkara. Si Nuri pula baru saja diangkat menjadi Ketua kelompok mengingat kemampuan komunikasinya yang diatas rata-rata. Ini membuat ia menjadi dekat dengan para penjaga penjara.
Karena telah masuk waktu makan siang, aku dan Condro berhenti di sebuah Rumah Makan Padang tak jauh dari rumah kontrakan Condro. Sambil makan aku tanya apa rencana Condro selepas urusan ini selesai dan Nuri dipulangkan. "Nuri tak usah kembali ke Malaysia, biar dikampung saja bersama dua anak kami. Saya yang salah, seharusnya sejak awal saya tak mengizinkan Nuri ikut. Biar saya saja yang kerja di Malaysia", Condro menyesali.
"Kenapa waktu itu diputuskan Nuri ke Malaysia?", aku bertanya lagi. "Kami sedang membangun rumah di kampung, Bang. Kalau berdua yang cari duit, kan bisa cepat selesai. Sekarang sudah bisa ditempati, walaupun belum selesai."
"Kalau orang yang sudah tertangkap seperti Nuri masih bisa masuk Malaysia?", aku penasaran. "Gampang itu, Bang. Tinggal bikin paspor baru dengan nama baru. Di kampung ada mafianya, tinggal bayar saja."
"Memangnya harus ke Malaysia untuk cari duit, dikampung nggak bisa?", aku ingin tahu lebih banyak kisah Condro dan Nuri.
"Di kampung susah, Bang. Paling jadi petani, tapi harga-harga naik turun nggak karuan. Kita jadi kayak berjudi, bang. Kalau mau aman sih jadi pegawai negeri, tapi sekolah saya cuma SMA. Habis gitu mana ada duit buat nyogok biar diterima jadi PNS."
"Emang dulu kamu kerja apa sebelum ke Malaysia?", tanya saya lagi.
"Saya jadi supir bis antar kota lebih dari sepuluh tahun. Sebelumnya jadi stokar (kenek) bertahun-tahun sambil belajar nyetir. Setelah lancar nyetir dan dapat SIM, naik pangkat jadi supir. Awalnya supir dua (supir cadangan/pengganti), lama-lama jadi supir satu (supir utama)."
"Kenapa berhenti? Bukannya jadi supir bis antar kota cukup aman karena penumpang makin banyak. Orang-orang sekarang kan senang bepergian?"
"Wah...belakangan jadi supir bis antar kota malah makin sulit, Bang. Pertama karena BBM naik, sementara kita nggak bisa menaikkan harga tiket yang cukup untuk menutup kenaikan BBM. Yang kedua, dan ini yang paling parah, orang-orang sekarang lebih suka bepergian ke kota lain menggunakan jasa travel yang pakai mobil Innova atau Avanza. Mereka melayani antar jemput ke rumah. Lagi pula mereka lebih fleksibel, bisa berangkat kapan saja karena kapasitas kecil dan cepat penuh. Selain itu pemesanan tempat duduk juga sangat mudah, cukup dengan SMS atau WA supirnya. Mobil travel sekarang kebanyakan milik perorangan, malah sebagian besar plat hitam (tidak terdaftar sebagai kendaraan umum, hanya untuk pemakaian pribadi)."
"Kenapa kamu nggak ikut usaha travel saja, beli aja Avanza satu?" Saya terus mengejar.
"Nggak berani, Bang. Kita nggak mungkin beli mobil tunai, mesti pinjam uang sama bank atau leasing. Agar bisa nyicil kredit bank dengan lancar dan ada sisa untuk hidup, mobil mesti jalan terus, kalau bisa tiap hari. Nggak kuat, Bang. Bisa hancur badan. Belum lagi biaya perawatan mobil. Udah gitu beberapa kawan ada yang mobilnya ditarik sama bank karena pembayaran macet. Habis semua, modal yang jadi uang muka mobil lenyap. Akhirnya nganggur."
"Apa memang bertani tidak bisa diharapkan sama sekali, Ndro? Apa semua petani gagal dan miskin?"
"Tidak juga sebenarnya, Bang. Ada beberapa kawan yang hidup makmur, punya rumah dan mobil, dari bertani."
"Kira-kira apa rahasia sukses mereka, yang membedakan dari petani kebanyakan?"
"Kalau saya perhatikan mereka yang saya kenal, mereka sangat tekun dan penyabar. Mereka terus bertani meski harga panen naik turun. Mereka tidak patah arang lalu banting setir, bila harga hasil panen terpuruk. Ketika harga tinggi, mereka tidak serakah memanen buah yang masih muda. Mereka petik mana yang telah tiba waktunya saja. Karena itu tanaman mereka lebih sehat, lebih tahan hama dan panjang masa produktifnya. Terus, sebagian dari mereka ada yang juga jadi tauke (saudagar atau pedagang borongan) hasil-hasil pertanian."
"Berarti mereka sebenarnya tidak merugi menjadi petani dan tidak berjudi juga kan?"
"Betul, Bang. Mereka pasti rugi juga kalo harga hasil pertanian sedang jatuh, tapi nanti kan pasti naik lagi. Jadi, dalam jangka panjang mereka untung."
"Kamu nggak pengen jadi petani sukses kayak mereka?" Saya coba pancing Condro.
"Pengen lah, Bang. Saya juga nggak bakalan selamanya jadi pendatang haram di Malaysia. Hidup nggak tenang, nggak berani keluar jauh-jauh dari kontrakan. Lihat polisi dari jauh, langsung berdebar-debar."
"Kapan rencana pulang, Ndro?"
"Target saya sampai rumah benar-benar selesai, Bang. Dan ada sedikit sisa uang untuk mulai usaha di kampung. Ya..mungkin setahun dari sekarang lah."
"Mau usaha apa rencananya di kampung?"
"Yang jelas jadi petani, ke sawah dan ke ladang. Tapi saya juga maunya punya usaha lain juga, mungkin jualan makanan keliling pakai motor, bisa bakso atau lontong sayur."
Kami berpisah di depan kontrakan Condro.
Dan Condro tidak sendiri. Ada puluhan ribu atau mungkin ratusan ribu Condro-Condro lain, Warga Negara Indonesia yang memilih membanting tulang mengumpulkan ringgit di negeri jiran Malaysia, meski harus menjadi pendatang ilegal. Mereka, dengan berbagai alasan, tersisihkan dinegeri sendiri. Negeri yang kaya raya, namun tak dapat memberi makan anak-anaknya.
Perih rasanya bila hari-hari ini terdengar kabar bahwa negara mendatangkan ribuan tenaga kerja asing dari Cina sementara anak-anak negeri sendiri harus merantau ke negeri orang untuk menyambung hidup. Kata anak-anak sekarang, sakitnya tuh disini...(sambil tangan kanan menepuk lembut dada kiri).
Setelah memarkir mobil, aku memasuki ruangan yang ternyata adalah loket pendaftaran lagi. Lagi-lagi tidak ada pemeriksaan. Secarik kertas dari loket pendaftaran pertama dan paspor diserahkan kepada petugas dan mereka menyerahkan sebuah pensil dan dua lembar kertas panjang yang diantaranya ada kertas karbon berwarna hitam. Ternyata itu adalah borang barang-barang kebutuhan yang dapat dibeli oleh pengunjung untuk tahanan yang dikunjungi. Item-item yang dibeli disepakati dengan tahanan selama waktu berkunjung. Borang itu diserahkan kembali kepada petugas diloket untuk diperiksa dan dijumlahkan harganya. Kadang-kadang petugas mencoret item tertentu atau mengurangi kuantitasnya. Setelah membayar belanjaan, paspor atau tanda pengenal pengunjung dikembalikan dan pengunjung sudah dapat meninggalkan penjara.
Sambil menyerahkan borang kosong itu, petugas mengarahkanku untuk memasuki sebuah pintu yang ia tunjuk, namun sebelumnya semua barang-barang yang aku bawa seperti telepon genggam, dompet, jam tangan dan lain-lain, haruslah disimpan disalah satu loker disebelah pintu itu. Dibalik pintu adalah koridor sempit sepanjang kurang lebih lima meter, berikutnya aku sudah berada di ruangan pertemuan tahanan dan pengunjung. Ruangan itu berupa koridor panjang, mungkin sekitar empat puluh meter panjangnya, yang dibelah dua oleh tembok dan kaca tebal yang dilapisi oleh jeruji besi. Pengunjung dan tahanan dapat saling melihat melalui kaca itu, namun tidak dapat saling menyentuh karena kaca itu tertutup rapat. Saking rapatnya, suara pun tak tembus. Komunikasi antara pengunjung dan tahanan dilakukan melalui interkom yang telah disediakan. Lagi-lagi tidak ada pemeriksaan oleh petugas. Aku mengamati pula bahwa beberapa tahanan menerima kunjungan dari beberapa orang, meski pengunjung yang terdaftar satu orang saja. Berbekal pengalaman itu aku yakin Condro mestinya dapat berkunjung pula, cukup aku saja yang mendaftar.
Dan kini Condro telah duduk disebuah kursi dikoridor panjang itu, matanya menatap lurus kemuka, sedia menangkap bila Nuri tiba-tiba muncul dibalik kaca. Pastilah baginya waktu merambat begitu lambatnya.
Nuri tiba dengan dengan senyumnya, ia melambaikan tangan pada ku yang duduk sekitar tiga meter dibelakang Condro. Sekilat senyumnya melebar dan raut mukanya semakin berbinar begitu tahu siapa yang duduk menunggu didepan kaca berjeruji. Keduanya sigap mengangkat gagang interkom masing-masing. Keduanya segera larut tenggelam dalam perbincangan. Sesekali punggung tangan mereka mengusap mata. Terlalu banyak yang hendak diungkapkan, namun tiba-tiba waktu berputar sangat cepatnya.
Dua puluh menit berlalu, seorang penjaga wanita mendekati Nuri, sepertinya mengingatkan bahwa waktu sudah hampir habis. Nuri mengangguk lalu melanjutkan perbincangannya dengan Condro. Hampir sepuluh menit sejak peringatan petugas itu barulah percakapan mereka benar-benar berakhir. Kami meninggalkan koridor panjang itu diikuti pandangan mata Nuri.
Dalam perjalanan meninggalkan penjara, Condro meringkas perbincangannya dengan Nuri. Nuri masih menanti panggilan Mahkamah (pengadilan) untuk mengikuti persidangan, mungkin dalam satu dua minggu kedepan. Sepatutnya Nuri sudah disidang, namun ternyata ada penundaan gara-gara banyak hakim yang mengambil cuti. Hari-hari itu sekolah-sekolah Malaysia liburan panjang pergantian tahun ajaran. Persidangan untuk kasus orang kosong biasanya lebih sebagai formalitas saja asalkan terdakwa mengakui kesalahan tinggal dan bekerja di Malaysia secara ilegal tanpa dokumen yang sah. Hukumannya juga standar, biasanya enam bulan penjara terhitung sejak hari pertama ditahan lalu dideportasi. Selanjutnya mereka dipindahkan ke kamp penampungan menanti giliran dipulangkan ke tanah air.
Ada cerita menarik dari Nuri tentang kehidupannya dipenjara, yang juga diceritakannya padaku tiga minggu yang lalu. Ia mengatakan bahwa kami tidak perlu mengkhawatirkan keselamatannya, karena dipenjara wanita Kajang saja ada enam ribu lebih orang Indonesia dengan berbagai kasus dari orang kosong hingga pembunuhan berencana. Dan didalam sana mereka seperti saudara saling membantu dan menjaga sesama orang Indonesia. Kalaupun ada pertikaian, pastilah dengan warga negara lain seperti Myanmar, Philipina, Bangladesh, India atau China daratan. Lagi pula, dengan jumlah sebanyak itu, tahanan Indonesia merupakan mayoritas, tidak banyak yang berani cari perkara. Si Nuri pula baru saja diangkat menjadi Ketua kelompok mengingat kemampuan komunikasinya yang diatas rata-rata. Ini membuat ia menjadi dekat dengan para penjaga penjara.
Karena telah masuk waktu makan siang, aku dan Condro berhenti di sebuah Rumah Makan Padang tak jauh dari rumah kontrakan Condro. Sambil makan aku tanya apa rencana Condro selepas urusan ini selesai dan Nuri dipulangkan. "Nuri tak usah kembali ke Malaysia, biar dikampung saja bersama dua anak kami. Saya yang salah, seharusnya sejak awal saya tak mengizinkan Nuri ikut. Biar saya saja yang kerja di Malaysia", Condro menyesali.
"Kenapa waktu itu diputuskan Nuri ke Malaysia?", aku bertanya lagi. "Kami sedang membangun rumah di kampung, Bang. Kalau berdua yang cari duit, kan bisa cepat selesai. Sekarang sudah bisa ditempati, walaupun belum selesai."
"Kalau orang yang sudah tertangkap seperti Nuri masih bisa masuk Malaysia?", aku penasaran. "Gampang itu, Bang. Tinggal bikin paspor baru dengan nama baru. Di kampung ada mafianya, tinggal bayar saja."
"Memangnya harus ke Malaysia untuk cari duit, dikampung nggak bisa?", aku ingin tahu lebih banyak kisah Condro dan Nuri.
"Di kampung susah, Bang. Paling jadi petani, tapi harga-harga naik turun nggak karuan. Kita jadi kayak berjudi, bang. Kalau mau aman sih jadi pegawai negeri, tapi sekolah saya cuma SMA. Habis gitu mana ada duit buat nyogok biar diterima jadi PNS."
"Emang dulu kamu kerja apa sebelum ke Malaysia?", tanya saya lagi.
"Saya jadi supir bis antar kota lebih dari sepuluh tahun. Sebelumnya jadi stokar (kenek) bertahun-tahun sambil belajar nyetir. Setelah lancar nyetir dan dapat SIM, naik pangkat jadi supir. Awalnya supir dua (supir cadangan/pengganti), lama-lama jadi supir satu (supir utama)."
"Kenapa berhenti? Bukannya jadi supir bis antar kota cukup aman karena penumpang makin banyak. Orang-orang sekarang kan senang bepergian?"
"Wah...belakangan jadi supir bis antar kota malah makin sulit, Bang. Pertama karena BBM naik, sementara kita nggak bisa menaikkan harga tiket yang cukup untuk menutup kenaikan BBM. Yang kedua, dan ini yang paling parah, orang-orang sekarang lebih suka bepergian ke kota lain menggunakan jasa travel yang pakai mobil Innova atau Avanza. Mereka melayani antar jemput ke rumah. Lagi pula mereka lebih fleksibel, bisa berangkat kapan saja karena kapasitas kecil dan cepat penuh. Selain itu pemesanan tempat duduk juga sangat mudah, cukup dengan SMS atau WA supirnya. Mobil travel sekarang kebanyakan milik perorangan, malah sebagian besar plat hitam (tidak terdaftar sebagai kendaraan umum, hanya untuk pemakaian pribadi)."
"Kenapa kamu nggak ikut usaha travel saja, beli aja Avanza satu?" Saya terus mengejar.
"Nggak berani, Bang. Kita nggak mungkin beli mobil tunai, mesti pinjam uang sama bank atau leasing. Agar bisa nyicil kredit bank dengan lancar dan ada sisa untuk hidup, mobil mesti jalan terus, kalau bisa tiap hari. Nggak kuat, Bang. Bisa hancur badan. Belum lagi biaya perawatan mobil. Udah gitu beberapa kawan ada yang mobilnya ditarik sama bank karena pembayaran macet. Habis semua, modal yang jadi uang muka mobil lenyap. Akhirnya nganggur."
"Apa memang bertani tidak bisa diharapkan sama sekali, Ndro? Apa semua petani gagal dan miskin?"
"Tidak juga sebenarnya, Bang. Ada beberapa kawan yang hidup makmur, punya rumah dan mobil, dari bertani."
"Kira-kira apa rahasia sukses mereka, yang membedakan dari petani kebanyakan?"
"Kalau saya perhatikan mereka yang saya kenal, mereka sangat tekun dan penyabar. Mereka terus bertani meski harga panen naik turun. Mereka tidak patah arang lalu banting setir, bila harga hasil panen terpuruk. Ketika harga tinggi, mereka tidak serakah memanen buah yang masih muda. Mereka petik mana yang telah tiba waktunya saja. Karena itu tanaman mereka lebih sehat, lebih tahan hama dan panjang masa produktifnya. Terus, sebagian dari mereka ada yang juga jadi tauke (saudagar atau pedagang borongan) hasil-hasil pertanian."
"Berarti mereka sebenarnya tidak merugi menjadi petani dan tidak berjudi juga kan?"
"Betul, Bang. Mereka pasti rugi juga kalo harga hasil pertanian sedang jatuh, tapi nanti kan pasti naik lagi. Jadi, dalam jangka panjang mereka untung."
"Kamu nggak pengen jadi petani sukses kayak mereka?" Saya coba pancing Condro.
"Pengen lah, Bang. Saya juga nggak bakalan selamanya jadi pendatang haram di Malaysia. Hidup nggak tenang, nggak berani keluar jauh-jauh dari kontrakan. Lihat polisi dari jauh, langsung berdebar-debar."
"Kapan rencana pulang, Ndro?"
"Target saya sampai rumah benar-benar selesai, Bang. Dan ada sedikit sisa uang untuk mulai usaha di kampung. Ya..mungkin setahun dari sekarang lah."
"Mau usaha apa rencananya di kampung?"
"Yang jelas jadi petani, ke sawah dan ke ladang. Tapi saya juga maunya punya usaha lain juga, mungkin jualan makanan keliling pakai motor, bisa bakso atau lontong sayur."
Kami berpisah di depan kontrakan Condro.
Dan Condro tidak sendiri. Ada puluhan ribu atau mungkin ratusan ribu Condro-Condro lain, Warga Negara Indonesia yang memilih membanting tulang mengumpulkan ringgit di negeri jiran Malaysia, meski harus menjadi pendatang ilegal. Mereka, dengan berbagai alasan, tersisihkan dinegeri sendiri. Negeri yang kaya raya, namun tak dapat memberi makan anak-anaknya.
Perih rasanya bila hari-hari ini terdengar kabar bahwa negara mendatangkan ribuan tenaga kerja asing dari Cina sementara anak-anak negeri sendiri harus merantau ke negeri orang untuk menyambung hidup. Kata anak-anak sekarang, sakitnya tuh disini...(sambil tangan kanan menepuk lembut dada kiri).
Comments
Post a Comment