Generasi yang tersesatkan
Dulu, kami hidup di kampung dimana Alam memberikan segalanya, dengan cuma-cuma. Kini, kami hidup penuh gaya namun senantiasa risau akan banyak hal yang dulu tak pernah melintasi pikiran.
Dahulu...
Rumah kami berdindingkan palupuh (batang bambu yang dihamparkan dengan mencabik-cabiknya memanjang), tiangnya dari batang kayu manis, pintu dan kusennya dari kayu hutan yang ditarah. Semuanya cuma-cuma. Tidak ada yang mengklaim kepemilikan rumpun bambu di rimba. Batang kayu manis kami minta kepada warga kampung yang "mangubak". Bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, mangubak artinya mengupas. Di dusun kami, istilah mangubak juga berarti panen kayu manis, karena memang yang dipanen dari kayu manis adalah kulit pohonnya, yang harus dikupas dari batangnya. Dulu, sejatinya batang kayu yang telah ditebang itu memang tidak untuk dijual, siapapun boleh memintanya. Entahlah sekarang apakah masih demikian. Hanya atap seng dan paku-paku yang harus dibeli, karena kami tidak pandai melebur logam.
Kami tidak punya sawah, tetapi tidak pernah membeli beras. Kami makan dari beras pembagian pemerintah kepada Ibu yang mengabdi sebagai guru SMP. Kami menyebutnya beras Dolog (Depot Logistik milik Bulog), karena memang beras itu didatangkan dari Depot Logistik di Sungai Penuh, ibukota kabupaten. Beras Dolog memang bukan beras dengan kualitas nomor satu. Bila beruntung, kualitas berasnya cukup baik. Bila tidak, berasnya kekuningan, hancur, kadang berbau dan berulat. Mungkin karena telah tersimpan cukup lama di depo-depo Bulog. Namun tetap kami syukuri dan makan, toh ianya tidaklah meracuni asal dibersihkan dengan sempurna.
Sebagian besar warga dusun memiliki sawah yang panen dua kali setahun, yang hasilnya lebih dari cukup untuk makan keluarga sepanjang tahun dan sisanya dijual, bila ada. Bagi warga dusun kami, bertanam padi bukanlah sumber mata pencaharian utama, hanya untuk memenuhi kebutuhan makan sendiri. Mata pencarian utama digantungkan pada berbagai tanaman diladang dari tanaman muda seperti cabe, tomat dan sayur-mayur hingga tanaman keras seperti kopi, tembakau dan kayu manis. Oleh sebab itu tidak ada tekanan untuk memproduksi padi sebanyak-banyaknya dengan menambah frekuensi bercocok tanam menjadi tiga kali setahun misalnya atau memacu pertumbuhan padi dengan pupuk kimiawi atau melawan hama dengan semprotan pestisida buatan. Meski demikian, percaya atau tidak, tidak pernah ada hama menyerang padi, kami tidak pernah mendengar istilah gagal panen. Karena Allah yang Maha Mengatur telah menyeimbangkan segalanya. Warga dusun hanya perlu bertani mengikuti irama alam, sangat sustainable. Itu dulu, entahlah kini.
Setiap musim menuai tiba, warga dusun saling berbagi beras baru hasil panen. Biasanya anak-anak sekolah yang menghantar barang segantang (kurang lebih sama dengan dua setengah liter) dua beras baru kerumah kami, sebelum mereka menuju sekolah dipagi hari. Makan beras baru tentulah anugerah luar biasa bagi keluarga kami yang sehari-hari kenyang dengan beras Dolog berkualitas ala kadarnya. Apalagi sebagian beras baru pemberian tetangga itu adalah beras payo, varietas beras paling nomor satu di daerah kami. Beras payo berasal dari padi yang ditanam disawah payo (payau), yang kedalaman lumpurnya mencapai pinggang bahkan lebih. Berasnya pulen sekali, wangi dan nikmat. Betapa indahnya berbagi.
Rumah kami dikelilingi berbagai macam tanaman untuk konsumsi sendiri dan tetangga sekitar. Di depan rumah ada rumpun-rumpun tebu yang diselang-seling dengan pohon pepaya. Orang-orang lalu lalang berangkat dan pulang dari ladang, bebas saja mengambil batang tebu sekedar pelepas dahaga. Dengan satu syarat yang selalu diingatkan Abak (Ayah), batangnya harus dicabut hingga keakarnya, bukan ditebang. Karena tunggul yang tersisa akan mengurangi kemanisan batang tebu lain disekitarnya, begitu teori Abak yang belum sempat saya buktikan kebenarannya. Demikian pula pepaya, siapapun boleh meminta buah dan daunnya. Selain buahnya yang matang, buah pepaya muda dan daunnya adalah bahan sayur yang sehat dan sedap.
Di lahan sebelah kiri rumah bambu kami, berbagai jenis sayur-mayur dan rempah ditanam disitu. Ada kacang buncis, kacang panjang, labu siam, pucuk katu, sedikit cabe, tomat, daun ruku-ruku (daun rempah khusus berbagai masakan minang), kunyit, serai, jahe, lengkuas, daun bawang, pandan, ubi jalar dan ubi kayu (singkong). Pasokan pucuk ubi (daun singkong) dan samba lado (sambal cabe) tersedia cukup sepanjang tahun, tentulah nikmat terbesar bagi kami orang Minang. Bahkan daun kacang panjang dan daun labu siam pun enak direbus untuk sayuran.
Di pojok kanan belakang rumah kami, ada paling tidak tiga rumpun pisang. Ada pisang batu yang biasa dibuat kolak, pisang goreng dan keripik pisang. Ada pisang raja serai yang mungil, kuning dan sangat nikmat, tapi sangat kelat menjelang matangnya. Ada pula pisang dingin, adalah pisang yang umum kita temui sebagai pencuci mulut dibanyak restoran atau rumah makan. Selain buahnya, jantung pisang adalah sayur yang nikmat. Daunnya memperkaya aroma makanan apapun yang dibungkusnya.
Kami juga punya berbagai hewan ternak, ada ayam kampung, itik dan kambing. Kami pernah pula memelihara kelinci dan burung merpati. Semuanya sumber protein yang kaya, dari daging dan telurnya. Kotoran mereka adalah pupuk bagi tanaman kami.
Meski tidak punya sapi atau kerbau, kami juga makan daging. Klik http://kabacarito.blogspot.ch/2013/07/makan-daging-empat-kali-setahun.html untuk mengetahui bagaimana kami mendapatkan daging.
Kami tidak punya kolam ikan, tapi kami makan ikan. Adalah Pak Tamrin, kolega Ibu sesama guru SMP, yang juga tetangga kami. Ia sesekali mengisi waktu luangnya dengan memancing ke sungai. Karena tinggal sendiri, ia tidak suka memasak. Hasil mancing selalu diberikan kepada Ibu untuk dimasak, jadilah kami sekeluarga ikut makan ikan segar.
Danau dan sungai-sungai kami sungguh kaya akan ikan. Warga dusun biasa menangkap ikan menggunakan lukah, perangkap ikan terbuat dari bambu, sekilas bentuknya seperti roket atau peluru kendali. Ikan yang terlanjur masuk, tidak akan pernah bisa keluar. Lukah dipasang di sungai menjelang malam dan diambil esok paginya. Selain dimakan sendiri, pemasang lukah juga menjual hasil tangkapannya.
Bahkan anak-anak pun dapat mengumpulkan makanan dari sungai-sungai atau saluran-saluran air kami, berupa siput atau keong yang dapat dimakan. Biasanya keong itu kami gulai. Tidak seperti keong di restoran Perancis, ia dimasak bersama cangkangnya yang ujungnya telah dipotong. Dagingnya dikeluarkan dengan cara menyedotnya. Udara yang terhisap masuk melalui ujung kecil yang telah dipotong akan mendorong siput itu keluar.
Adalah Mak Gaek, tetangga kami yang punya kolam ikan. Mak Gaek juga punya kedai dimana ia menjual kopi, lontong, pisang goreng dan berbagai makanan lainnya. Hasil panen kolamnya pun dijual. kembali kami makan ikan.
Atau, disetiap musim mengolah sawah sebelum bertanam, para petani membawa pulang belut hasil tangkapan selama sehari mencangkul. Sawah dikampung kami sepenuhnya diolah dengan cangkul, tidak dengan bajak yang ditarik sapi atau kerbau, tidak pula dengan traktor. Ibu sering membeli belut segar itu dari mereka, dengan harga yang sangat bersahabat tentunya. Seringkali ketika ditanya berapa harganya, jawab mereka adalah "terserah Ibu".
Betapa beruntungnya kami waktu itu, dikelilingi banyak makanan, sebagian besar cuma-cuma dan semuanya organik. Kami hidup tentram. Apapun yang terjadi di luar sana, tidaklah terlalu kami hiraukan, apalagi risaukan. Tapi itu dulu, entahlah kini.
Kini...
Meski lahir dan tumbuh ditanah bak syurga itu, entah bagaimana kami tumbuh dengan pola pikir bahwa segala sesuatu yang terkait dengan pertanian dan kampung adalah keterbelakangan, dan mestilah ia diperangi. Bahwa masa depan ada di kota, menjadi karyawan perusahaan besar dengan gaji besar, berpakaian perlente dan memakai dasi. Atau paling tidak, menjadi pegawai negeri dengan gaji cukup, berbagai tunjangan dan hari tua terjamin. Lalu bagaimana dengan sawah, ladang dan kebun pekarangan sekitar rumah? Biarlah mereka diurus oleh saudara sekampung yang tidak beruntung bersekolah tinggi atau tidak cukup berani bertarung menantang ganasnya persaingan kota.
Entah bagaimana jalannya pola pikir itu menyelinap ke benak kami, entah dari sekolah, entah dari TV hitam putih yang kami tonton, entah dari surat kabar yang kami baca, entah dari kabar cerita yang dibawa orang rantau yang pulang kampung dihari raya, entah dari kisah napak tilas warga kampung yang pernah melawat negeri orang. Entah. Atau, entah mungkin dari semuanya, pemikiran kami diserang dari segenap penjuru, tanpa kami sadari. Yang jelas, kami telah menjadi generasi yang berbeda.
Kini kami adalah orang-orang yang bangga menjadi kuli korporasi, berpakaian perlente, bila perlu dengan dasi mahal mencekik leher. Kami makan di restoran mahal berbintang lima, minum kopi di cafe mentereng yang mendunia, yang mematikan usaha tani kopi bapak-bapak kami di kampung. Mereka beli kopi dengan harga serendah-rendahnya dari ayah-ayah kita, lalu kita keruk kantong sangat dalam untuk segelas kecil kopi di kedai mereka. Dan kita bangga. Sementara bila mudik ke dusun, ibu akan menyeduh kopi yang sama tanpa pamrih. Dan, kopi ibu jauh lebih nikmat karena ia diracik dengan cinta.
Kehidupan kami tampak begitu mewah dan berbahagia, namun sungguh kulitnya saja. Detik demi detik berlalu, pikiran dan hati kami cemas diselimuti rupa-rupa kekhawatiran. Kami risaukan sesuatu yang tidak pernah terlintas dipikiran kami ketika hidup sederhana dikampung. Kami khawatirkan harga minyak dunia yang terus turun, kami cemaskan nilai tukar dolar yang terus menguat, kami takutkan pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat, kami gunjingkan negara Yunani yang jatuh bangkrut terbelit hutang dan kawasan Timur Tengah yang asyik berperang tak kunjung rujuk.
Sungguh tidaklah kami demikian cendikianya sehingga mencurahkan pikiran untuk urusan besar umat manusia. Dan topik-topik itu memenuhi ruang diskusi kami, meski semakin didebatkan semakin tak dipahami. Sebenarnya kami mencemaskan perut sendiri. Karena semua itu bermakna harga-harga kebutuhan semakin mahal. Pemerintah menghapus subsidi. Sekolah anak-anak kami pula menaikkan SPP-nya. Uang kertas yang kami puja-puja karena dengannya kami dapatkan segala sesuatunya, terus menurun nilainya. Bank-bank yang 'baik hati' meminjamkan uangnya agar kami dapat menikmati taraf hidup layak, rumah mewah dan mobil keren, tiba-tiba menaikkan bunga yang membuat kami menyisihkan lebih banyak uang untuk mereka setiap bulannya. Takut kami gaya hidup merosot karenanya.
Kami cemaskan pula bank-bank itu tiba-tiba jatuh bangkrut, tidak mampu membayar bunga deposito kami dan mesin ATM tidak lagi memuntahkan kertas-kertas itu. Terbayang dipelupuk mata kami, tabungan yang dikumpulkan dari lelah penat bekerja bertahun-tahun musnah dalam sekejap mata. Kami telah dalam bergelimang riba, meski ia musuh semua agama. Puncaknya, kami risaukan sangat bila tiba-tiba kami kehilangan pekerjaan karena perusahan kami bangkrut, karena kami tak pandai berdikari dan merasa terlalu terhormat untuk bertani.
Ada sisi baiknya, himpitan kegalauan itu memacu kami giat bekerja, demi memastikan masa depan tidak suram. Masa depan yang tidak ditentukan oleh orang-orang disekitar kami, tidak juga pemerintah, ia sepenuhnya berada ditangan kami sendiri. Istri-istri kamipun bekerja keras, kenapa tidak, bukankah mereka juga sekolah tinggi, sayang kalau tidak menghasilkan uang. Kami relakan anak-anak, tunas harapan kami, yang kami inginkan sekolah lebih tinggi dan sukses dalam hidup melampaui kami, dididik asuhan pembantu yang tidak bersekolah.
Namun muka buruknya jauh lebih memilukan, kami tinggalkan rumah sebelum fajar dan kembali jauh malam. Tidak sempat kami bercanda tawa dengan buah hati kami. Tidak kenal kami dengan para tetangga, tidak mau kami buang masa bersilaturahmi dengan mereka. Diakhir pekan, kami padati jalanan, mal-mal dan tempat-tempat rekreasi. Kami hamburkan uang untuk melepas kesuntukan seminggu penuh. Terselip disitu keinginan membayar kesalahan kepada buah hati, atas tidak tertunaikannya hak mereka selama hari kerja. Tiba dirumah di Ahad malam, tiba-tiba hati menjadi gundah, karena esok adalah hari Senin. Kami begitu membenci hari Senin.
Kami sangat memperhatikan efisiensi, mendapatkan output maksimal dengan input serendah-rendahnya. Kami begitu menghargai waktu dan tenaga, dan semakin lihai mengkonversi keduanya kedalam ukuran moneter. Tanpa kami sadari, kami menjadi semakin kikir berbagi, baik harta benda, waktu, tenaga, pikiran bahkan senyuman. Tidak mau kami membagi itu semua tanpa imbalan karena rasanya untuk kami sendiripun mereka tak pernah cukup. Entah kemana menguapnya ketulusan dan kedermawanan itu.
Demikian sibuknya kami, tidak banyak waktu tersisa untuk hal lain, tidak juga untuk Tuhan. Tidak kami adukan keluh kesah kami kepada-Nya dan kelu lidah kami untuk bersyukur kepada-Nya. Tetap kami tunaikan shalat lima waktu, tapi ia semakin ringan, sekedar penggugur kewajiban.
Tiada waktu untuk merenung dan berkontemplasi dengan tenang, yang mungkin mencerahkan tentang makna semua hiruk pikuk ini. Tiada masa untuk membaca buku meski kami faham belajar adalah dari buaian hingga ke liang lahat. Kami terkurung oleh kabut yang tak kami mengerti hakikatnya. Kami puja uang, namun tidak kami pahami apakah uang itu sejatinya (Klik http://ifexplorer.blogspot.my/2015/09/apakah-uang-itu-sebenarnya.html untuk mengenal uang lebih dekat).
Tidak terbersit dibenak kami betapa ketakutan yang menyiksa itu adalah karena kami tidak lagi punya kemampuan memenuhi kebutuhan sendiri, termasuk kebutuhan dasar paling mendasar yaitu makanan. Tidak kami pahami betapa kemampuan itulah yang membuat kehidupan kampung kami tenteram dan sentosa, dulu. Semuanya kini kami tukar dengan uang kertas, yang tidak pernah kami mengerti mengapa semakin turun nilainya, dengan percepatan yang meningkat.
Pelajaran ekonomi disekolah dan universitas telah menyesatkan kami dengan memahamkan bahwa bank bertindak sebagai intermediari, menyalurkan uang dari yang punya kepada yang membutuhkan. Tidak diterangkan kepada kami bahwa dengan memberi pinjaman, bank sesungguhnya telah mencetak uang, menciptakan harta kekayaan dari ketiadaan. Kun fayakun. Kemampuan yang semestinya milik Allah saja. Dan, kamilah yang membayar ketiadaan itu dengan setiap tetesan keringat.
Kami anggap biasa saja kenyataan bahwa negeri gemah ripah loh jinawi ini, dimana tongkat kayupun menjadi tanaman, mengimpor bahan makanan paling pokok, beras, kedelai, gula, garam dan daging. Ironis sekali, sebagiannya kami beli dari bangsa adi daya yang kuasa menentukan nilai uang bangsa-bangsa lain, dengan uang rupiah yang semakin tak berharga.
Sementara itu, dusun kami kian merana, ditinggal tenaga mudanya yang mengadu untung ke kota. Tidak banyak yang sukses, sebagian besar merana. Yang tidak beruntung menikmati sekolah tinggi dan bekerja kantoran dikota, memilih merantau lebih jauh ke luar negeri, menjadi TKI atau TKW. Mereka bertebaran di Malaysia, Timur Tengah, Hongkong, Taiwan dan Korea, mengadu untung. Rela mereka tinggalkan keluarga, bahkan kadang suami istri berangkat bekerja menjadi buruh diluar negeri. Anak-anak tumbuh dalam asuhan neneknya dikampung. Lagi-lagi, sedikit saja yang sukses, sebagian besar kembali ke dusun tanpa membawa apa-apa. Kadang ada sedikit hasil untuk membahagiakan sanak saudara di kampung, tapi apa daya, ia lenyap pula dipalak saudara sebangsa di bandara.
Kami adalah generasi yang tersesatkan....yang kini bimbang...mestikah kami pulang ke dusun, kejalan yang benar...
Comments
Post a Comment